Tuesday, 9 December 2014

Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila


Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila
Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia semestinya memiliki kekuatan “kesadaran budaya pancasila” yang tinggi, karena kesadaran budaya adalah suatu inti dari peradaban umat manusia atau suatu bangsa. Namun adanya sebuah fenomena yang membuat masyarakat Indonesia enggan untuk membicarakan kehidupan bermasyarakat, bangsa dan negara berdasarkan pancasila. Fenomena itu terhitung semenjak runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 lalu. Padahal, masyarakat Indonesia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi masuknya ideology asing sebagai akibat era globalisasi. Saat ini, Indonesia sedang mengalami krisis ideology. Tidaklah mungkin bangsa dan negara Indonesia membangun budaya politik dan pemerintah bangsa Indonesia yang mengabaikan ideology Pancasila, sebab pembangunan budaya politik dan pemerintahan Indonesia akan menjauhkan diri dari akar budayanya. Hal ini terbukti dengan adanya KKN, yang jelas-jelas amat bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Saat ini, tidaklah banyak elit bangsa Indonesia yang sepenuhnya sadar akan adanya krisis ideology ini, karena mereka lebih focus untuk memperebutkan kekuasaan ketimbang menjaga stabilitas negara Indonesia.
Maka dari itu diperlukan adanya suatu paradigm baru untuk memposisikan dan memerankan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup, yaitu “Paradigma Dinamika Internal Indonesia”, yaitu suatu paradigm yang melihat bangsa dan negara Indonesia sebagai subjek kreatif dan produktif dalam melaksanakan Pancasila. Yang lebih utama lagi, Pancasila harus dijadikan sebagai sumber utama dalam diri kita dalam melihat dan memandang nila-nilai eksternal, terutama ideology asing, seperti ideology kiri (komunisme sosialis) dan kanan (kapitalisme liberal). Sebenarnya, pemberian pendidikan Pancasila dalam lembaga pendidikan, mulai Sekolah Dasar hingga Peguruan Tinggi, akan memberikan kekuatan internal dari kaum terdidik. Hanya saja pendidikan yang diberikan saat ini kurang mendasar dan metodologi yang salah. Juga adanya pengaruh dari tenaga pendidik yang tidak sepenuhnya yakin akan kebenaran Pancasila. Kegagalan membudayakan Pancasila melalui Penataran P-4 (1978-1998) bersumber dari ketidakjujuran penguasa dan penyelenggara negara dalam mentransformasikan nilai-nilai Pancasila, termasuk sikap dan tindakan yang menjadikan Pancasila sebagai ala untuk mempertahankan kekuasaan. Adapun kelemahan-kelemahan pendidikan Pancasila di lembaga pendidikan antara lain:
  1. Pendidikan Pancasila hanya terbatas pada proses hafalan saja.
  2. Pendidikan Pancasila tidak memiliki metodologi yang tepat.
  3. Pendidikan Pancasila belum mampu menghadapi eksistensi ideologi asing.
Untuk mengetahui hasil dari pendidikan Pancasila memang sangat sulit, sebab hasil dari pendidikan Pancasila memang bersifat abstrak dan internal. Di samping itu untuk mensosialisasikan  membudayakan Pancasila memang tidaklah mudah di tengah masyarakat Indonesia yang tradisional dan berubah. Kita harus mau jujur mengakui bahwa para tenaga pengajar belum mampu untuk meyakinkan Pancasila yang merupakan Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia adalah suatu dasar atau pandangan hidup yang memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan ideology-ideologi asing yang masuk ke Indonesia.
Selama ini sangatlah jarang pihak-pihak tertentu yang secara jujur untuk membicarakan ancaman dan kelemahan bangsa dan negara Indonesia dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan tak jarang UUD dan Pancasila dijadikan sebagai alat pembenar atas tindakan-tindakan yang menyimpang atau bertentangan dengan pandangan hidup bangsa. Ketika pancasila sebagai ideology Bangsa Indonesia yang tidak mampu lagi untuk berjuang membela kebenaran dan keadilan maka ketika itu pula kedudukan Pancasila menjadi lemah dan menjadi alat kekuasaan. Patologi budaya adalah suatu potensi atau kekuatan yang terjadi dalam masyarakat, yang dapat mengancam dan menghancurkan keutuhan budaya yang didukung oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga budayanya tak mampu memberikan nilai dan unsure yang sesuai dengan harapan masyarakat sendiri. Patologi budaya akan terjadi ketika masyarakat memiliki keinginan yang sangat tinggi, namun tidak memiliki kemampuan untuk mencapai keinginan itu hingga memunculkan adanya ketergantungan dengan pihak asing yang menyodorkan bantuan modal dan teknologi. Patologi budaya ini bukan hanya datang dari aspek ekonomi saja, namun juga dari pendidikan, hukum, social budaya, kehidupan beragama, politik dan pemerintahan, lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta ketertiban dan keamanan.
Masyarakat, bangsa negara Indonesia membutuhkan sikap dan perilaku yang konsisten, koheren, dan korespondensi  untuk melaksanakan dan mengamalkan Pancasila. Selama ini ada kesan untuk mendudukan Pancasila secara tidak proporsional, dimana Pancasila di anggap sebagai dasar dari kehidupan dalam kehidupan sosial dan budaya saja. Bersikap dan berperilaku konsisten atas Pancasila memiliki makna yaitu warga negara atau subjek harus mampu mewujudkan apa yang menjadi pemikirannya dalam bentuk tindakan dan perilaku. Sikap dan perilaku koherensi ialah suatu sikap dan perilaku yang mengakui adanya nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang bersifat intersubyektif. Sedangkan yang dimaksudkan dengan korespodensi ialah suatu gagasan atau konsep yang menyatakan bahwa nilai-nilai yang dianggap benar dan baik itu tidak hanya dalam hubungan intersubyektif, namun juga dengan alam semesta.
Sangat diperlukan adanya revitalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Revitalisasi adalah suatu aktivitas untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal karena mengalami bias atau kemunduran. Perlu ditekankan disini, yang perlu direvitalisasi adalah semangat dan kesadaran dalam berbangsa dan bernegara, bukan nilai-nilai Pancasilanya. Karena nilai-nilai Pancasia itu sifatnya abadi dan universal.
Adapun kompetensi-kompetensi yang diharapkan dari pendidikan kewarganegaraan yaitu :
  1. Hakikat pendidikan kewarganegaraan yang dimaksudkan agar kita sadar bernegara untuk bela negara dan cinta tanah air berdasarkan Pancasila.
  2. Pembekalan IPTEKS yang berlandaskan Pancasila, nilai-nilai keagamaan, dan nilai perjuangan bangsa untuk mengantisipasi perkembangan masa depan negara.
  3. Menumbuhkan wawasan warga negara dalam hal persahabatan, pengertian antarbangsa, perdamaian dunia, kesadaran bela negara, dan sikap berdasarkan nilai bangsa.
  4. Mampu meningkatkan kecerdasan, serta harkat martabat bangsa.
Pancasila yang terdiri dari atas 5 sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat dan suatu asas sendiri. Fungsi sendiri-sendiri namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematis. Satu kesatuan sila pancasil yang bersifat organis tersebut pada hakikatnya bersumber pada hakikat  dasar ontologis manusia. Susunan pancasila adalah hirarkis dan berbentuk pyramidal. Pengertian pyramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hirarki sila-sila Pancasila dalam urutan luas (kuantitas) dan juga dalam hal isi sifatnya (kualitas). Kalau dilihat dari intinya urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya merupakan pengkhususan sila-sila di mukanya. Kesatuan sila Pancasila yang Majemuk Tunggal dan Piramidal juga memiliki sifat saling mengisi dan saling mengkualifikasi yang bukan hanya bersifat logis saja, namun juga ontologis yang juga dapat dikatakan dasar antropologis karena subjeknya merupakan manusia; epistimologis yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia; serta aksiologis. Prinsip dasar ini merupakan cita-cita bangsa, namun juga sebenarnya diangkat dari kenyataan. Nilai-nilai pancasila pada hakikatnya merupakan sumber dari segala hukum negara. Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis memiliki kedudukan sebagai pokok Kaidah Negara yang Fundamental.
Adapun nilai-nilai yang terkandung pada masing-masing sila adalah:
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus dijwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2.  Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dalam kehidupan kenegaraan harus mewujudkan tercapainya tujuan ketinggian harkat martabat manusia dan HAM harus terjamin.
  3.  Persatuan Indonesia. Perbedaan di negara Indonesia adalah sebuah konsekuensi dan harus masing-masing mengikatkan diri dalam slogan Bhineka Tunggal Ika.
  4.  Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Demokrasi mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara, karena rakyat adalah asal kekuasaan negara.
  5.  Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Merupakan tujuan negara. Keadilan harus terwujud dalam kehidupan social yang didasari dengan keadilan kemanusiaan .




No comments:

Post a Comment